Mengamati Jejak Hijau di Tanah Banua. Sebuah Catatan Travel Blogger tentang Upaya Dinas Lingkungan Hidup Provinsi Kalimantan Selatan https://dlhprovkalimantanselatan.id/ dalam Menjaga Alam & Destinasi Wisata
Sebagai travel blogger yang suka telusuri sudut-sudut Kalimantan Selatan, saya selalu menyisihkan waktu bukan hanya untuk menikmati pemandangan—tapi juga mengamati siapa yang menjaga tempat-tempat itu tetap “layak dikunjungi”. Selama beberapa kunjungan ke Kebun Raya Banua, tepian Sungai Martapura, dan garis pantai pesisir Kalsel, saya melihat satu aktor yang sering muncul di latar: Dinas Lingkungan Hidup Provinsi Kalimantan Selatan (DLH Kalsel) dan mitra kerjanya
1. Rehabilitasi dan restorasi mangrove — bentengnya pesisir dan penunjang ekowisata
Saat berkeliling pesisir, saya melihat area penanaman mangrove yang makin sering dilaporkan sebagai program pemerintah provinsi. Rehabilitasi mangrove menjadi prioritas karena fungsinya: meredam abrasi, menyimpan karbon, dan mendukung perikanan lokal — sekaligus menjadi lokasi potensial untuk ekowisata edukatif yang ramah lingkungan. Program rehabilitasi ini dikerjakan lintas OPD dan melibatkan masyarakat pesisir dalam penanaman serta perawatan bibit.
Praktik di lapangan: melakukan penanaman berkala, penyuluhan pemeliharaan, serta pengukuran keberhasilan tumbuhnya bibit — informasi yang sering dibagikan lewat publikasi daerah dan kegiatan komunitas.
2. Pengelolaan sampah terintegrasi — dari pilah sampai upaya energi
Di area wisata kota dan sepanjang sungai, saya sering melihat kegiatan “Pilah Sampah Dapat Sembako” dan aksi bersih massal yang dimotori Ini bukan sekadar kampanye: Pemprov mendorong sistem pengelolaan sampah terpadu (TPS 3R, bank sampah, sampai rencana PLTSa / waste-to-energy) dan juga regulasi pengawasan pengelolaan sampah daerah sebagai dasar hukum pelaksanaannya. Program ini penting supaya sampah tidak membebani destinasi wisata (pantai, dermaga, kawasan sungai).
Praktisnya bagi wisatawan: di beberapa destinasi ada fasilitas pemilahan sampah atau titik edukasi singkat tentang minimalisasi sampah plastik.
3. Pemulihan Sungai Martapura — air bersih sebagai wajah pariwisata sungai
Sungai Martapura adalah urat nadi pariwisata sungai di Banjarmasin dan sekitarnya. DLH berperan pada program rehabilitasi dan pengembalian fungsi sungai — mulai dari pengurangan sumber polusi, pengelolaan sampah sungai, hingga lomba/gerakan kebersihan desa di sekitar sungai. Upaya ini bertujuan memulihkan estetika dan ekosistem sungai agar wisata perahu dan pasar terapung tetap menarik dan aman dikunjungi
Yang saya lihat: kegiatan bersih-bersih serentak dan lomba inovasi sungai melibatkan masyarakat lokal sebagai langkah berkelanjutan.
4. Kebun Raya Banua & konservasi tanaman endemik — tempat wisata jadi pusat edukasi
Kebun Raya Banua direvitalisasi menjadi pusat konservasi, penelitian, dan wisata edukasi — sebuah contoh sinergi lingkungan dan pariwisata. bersama UPTD Kebun Raya mendorong koleksi tanaman endemik, rumah konservasi anggrek lokal, area edukasi, dan fasilitas publik yang ramah keluarga. Ini mengubah kebun raya menjadi destinasi wisata yang sekaligus menyampaikan pesan konservasi kepada pengunjung.
Bagi saya, Kebun Raya Banua adalah tempat yang ideal untuk melihat bagaimana pelestarian flora dimaknai sebagai atraksi wisata yang mendidik.
5. Program ProKlim, edukasi, dan pemberdayaan masyarakat
DLH aktif memfasilitasi dan mendorong kampung-kampung ikut Program Kampung Iklim (ProKlim), program penanaman pohon massal, serta kegiatan edukasi lingkungan (peringatan Hari Lingkungan Hidup, Hari Keanekaragaman Hayati, dsb.). Kegiatan ini membuat komunitas setempat paham peran mereka dalam menjaga ekosistem—dari pengelolaan sampah rumah tangga sampai budidaya tanaman lokal
6. Pengendalian pencemaran & pemantauan kualitas lingkungan
Selain program lapangan, melakukan pengawasan pencemaran (air, udara, tanah) dan monitoring lokasi wisata yang berisiko tercemar — misalnya titik industri dekat aliran sungai, atau kawasan yang rawan erosi. Hasil pemantauan ini biasanya digunakan untuk rekomendasi teknis ke pemerintah kabupaten/kota dan pemangku usaha pariwisata.
7. Regulasi, kolaborasi lintas sektor, dan pemberian insentif
DLH tak berjalan sendiri: ada koordinasi dengan Dinas Kehutanan, Dinas Kelautan & Perikanan, Dinas Pariwisata, hingga Kementerian. Bentuknya mulai dari rakor pengelolaan sampah sampai program penanaman mangrove bersama. Regulasi tingkat provinsi (pergub) tentang pengawasan sampah daerah menjadi kerangka hukum pelaksanaan program.
8. Dampak terhadap pariwisata dan pengalaman pengunjung (observasi travel blogger)
Dari sudut pandang wisatawan: upaya-upaya ini terasa ketika infrastruktur pendukung (toilet bersih, jalur pejalan, papan edukasi) ditingkatkan, ketika sampah di titik wisata menurun, dan ketika kawasan-kawasan konservasi menyediakan informasi edukatif. Namun, implementasi masih bergantung pada partisipasi masyarakat lokal dan dukungan anggaran berkelanjutan.
9. Tips praktis untuk wisatawan yang peduli lingkungan di Kalsel
-
Bawa tumbler dan kantong kain — kurangi sampah sekali pakai.
-
Pilah sampah bila fasilitas tersedia, atau bawa pulang sampahmu.
-
Ikuti pemandu lokal dan dengarkan aturan kawasan konservasi (jangan memetik tanaman/langgar area penanaman).
-
Jika bisa, dukung eco-tourism lokal (paket pemandu lokal, beli produk komunitas).
-
Ikut kegiatan bersih-bersih publik jika ada — selain bantu lingkungan, pengalaman sosialnya seru.
10. Catatan penutup & harapan
Melihat kerja https://dlhprovkalimantanselatan.id/ Provinsi Kalimantan Selatan memberi saya optimisme: ada langkah nyata dari penanaman pohon sampai program pengelolaan sampah dan rehabilitasi sungai. Tantangannya adalah kesinambungan: program perlu didukung anggaran, partisipasi masyarakat, dan pengawasan berkelanjutan agar destinasi wisata tetap lestari — bukan sekadar cantik saat difoto. Sebagai traveler, saya ingin memberi apresiasi kecil: patuhi aturan setempat dan ikut jadi bagian dari solusi.